Kamis, 11 Januari 2024

HARGA DAN RISIKO ASET KEUANGAN

       Secara ekonomi, prinsip dasar dari harga aset keuangan adalah nilai sekarang (present value) atas arus kas yang diharapkan dapat dihasilkan oleh aset keuangan tersebut walaupun arus kas tersebut belum diketahui secara pasti. Arus kas merupakan jumlah pembayaran dalam jangka waktu tertentu atas aset keuangan tersebut. Misalnya, obligasi yang diterbitkan pemerintah, memberikan kupon setiap bulan sebesar Rp75.000,- selama lima tahun dan Rp 10.000.000,- di akhir tahun kelima. Angka ini merupakan arus kas. Nilai sekarang dari akumulasi arus kas inilah yang menjadi prinsip dasar dari harga obligasi tersebut.

     Contoh lain adalah kredit. Misalnya, seseorang memiliki kredit di suatu bank dan diwajibkan membayar bunga dan cicilan sebesar Rp5.000.000,- per bulan selama 3 tahun. Maka angka ini merupakan arus kas dari aset kredit tersebut. Oleh karena itu, harga dari aset kredit tersebut adalah nilai sekarang dari akumulasi arus kas selama 3 tahun.

       Kadang-kadang arus kas dari aset keuangan tidak diketahui persis. Misalnya, saham. Para investor pembeli saham tidak tahu persis berapa deviden yang akan dibagikan oleh emiten pada setiap periode waktu. Oleh karena itu, ada faktor lain yang berhubungan langsung dengan penentuan harga aset keuangan, yaitu nilai arus kas yang diharapkan atau (expected return). Berdasarkan arus kas yang diharapkan dan harga aset keuangan maka dapat ditentukan pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) dari aset keuangan tersebut. Contoh, jika harga aset keuangan adalah Rp10.000.000,- dan dalam satu tahun memberikan arus kas Rp11.000.000,- maka tingkat pendapatan dari aset keuangan ini adalah 10%, yaitu ((Rp11.000.000,- Rp10.000.000,-)/Rp 10.000.000,-) x 100%.

     Arus kas yang diharapkan tersebut berhubungan erat dengan risiko yang melekat dalam aset keuangan. Risiko ini berhubungan erat dengan tingkat kepastian (degree of certainty) atas arus kas yang diharapkan dari suatu aset keuangan. Jenis aset keuangan tertentu memiliki risiko yang tidak sama dengan jenis aset keuangan yang lain. Contoh, obligasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia, misalnya ORI, memiliki kepastian arus kas yang tinggi dengan asumsi bahwa pemerintah Indonesia tidak akan pernah melakukan gagal bayar atas instrumen-instrumen keuangan yang diterbitkan. Namun demikian, daya beli uang yang dihasilkan dari instrumen keuangan tersebut di masa datang memiliki ketidakpastian. Bila inflasi tinggi maka daya beli uang yang dihasilkan akan menurun cepat, begitu sebaliknya bila inflasi rendah. Risiko ini akan menentukan harga jual ORI apabila dijual sebelum jatuh tempo.

       Dalam kasus kredit, kepastian arus kas sudah diketahui sejak kredit disepakati. Sejauh peminjam tidak mengalami gagal bayar maka risiko kredit ini sangat rendah. Namun demikian, kapasitas peminjam untuk membayar kembali dapat menimbulkan ketidakpastian arus kas. Dalam perjalanan waktu bisa saja peminjam mengalami masalah dan terjadi gagal bayar atas kredit yang dilakukan atau sering disebut kredit macet. Risiko-risiko semacam ini sering disebut risiko kredit. Apabila aset kredit ini akan diperdagangkan maka semakin tinggi risiko harga aset kredit akan semakin rendah.

       Untuk kasus saham, risiko lebih bersifat dinamis. Seperti telah diuraikan terdahulu, arus kas saham sangat tergantung dari deviden yang dibagikan dan deviden sangat tergantung dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Keuntungan perusahaan sudah tentu dipengaruhi banyak faktor yang memengaruhi iklim bisnis pada umumnya. Aset keuangan saham ini. memiliki risiko arus kas yang lebih tinggi dibanding aset keuangan yang lain karena investor tidak tahu pasti berapa arus kas yang akan diterima. Saat transaksi membeli saham, investor hanya bisa memperkirakan berapa arus kas yang mungkin akan diterima di masa datang berdasarkan prospektus perusahaan yang akan dibeli sahamnya. Bisa saja prakiraan investor ini keliru, namun bisa juga benar sesuai ekspektasinya. Selain itu, pemegang saham juga tidak tahu pasti kapan deviden akan dibagikan. Meskipun perusahaan mengalami keuntungan, bisa saja deviden tidak dibagikan. tergantung dari keputusan pemegang saham mayoritas. Di sinilah unsur gambling dari investor.

       Aset keuangan bisa saja dibeli oleh orang asing atau bisa saja penduduk Indonesia membeli aset keuangan dari negara lain, misalnya obligasi yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat. Apabila hal demikian terjadi maka arus kas yang diperoleh dari aset keuangan harus dikonversi menjadi mata uang domestik, melalui mekanisme pasar valas. Dalam kasus demikian. seorang investor menghadapi ketidakpastian kurs di pasar valas yang memengaruhi nilai arus kas dalam mata uang domestik. Bisa saja arus kas yang diperoleh dalam mata uang asing cukup tinggi, namun ketika kurs mata uang domestik di pasar valas menguat maka nilai arus kas tersebut setelah dikonversi dalam mata uang domestik bisa menurun (lebih sedikit).

        Dari contoh-contoh yang telah diuraikan tersebut, aset keuangan dengan instrumen utang memiliki 3 macam risiko, yaitu:

1. Risiko daya beli (purchasing power risk), risiko ini berkaitan dengan daya beli arus kas yang akan didapatkan dikemudian hari. Karena arus kas baru akan diperoleh investor di waktu yang akan datang maka daya beli uang tersebut sangat tergantung dari tingkat inflasi. Risiko ini disebut juga risiko inflasi (inflation risk).

2. Risiko kredit (credit risk), yaitu risiko yang timbul karena ketidakmampuan emiten atau peminjam untuk membayar arus kas (baik berupa bunga maupun pokok pinjaman) sesuai perjanjian. Risiko ini sering disebut sebagai risiko gagal bayar atau risiko kelalaian (default risk).

3. Risiko kurs (foreign exchange risk), yaitu risiko yang muncul sebagai akibat naik turunnya kurs di pasar valuta asing. Risiko ini berkaitan dengan kepemilikan aset keuangan di luar negara investor. Bila investor membeli aset keuangan di luar negaranya maka arus kas akan dibayarkan sesuai dengan mata uang negara tersebut. Oleh karena itu, bila investor akan memanfaatkan pendapatan (arus kas) di negaranya, mata uang tersebut harus dikonversi menjadi mata uang domestiknya melalui pasar valuta asing. Hasil konversi sangat tergantung pada tingkat kurs yang terjadi di pasar valas tersebut.


Sumber : BMP


Universitas Persada Indonesia Y.A.I